Biografi Syarwan Hamid
Syarwan Hamid (lahir di Siak, Riau, 10 November 1943; umur 69 tahun) adalah salah satu tokoh militer dan politik Indonesia. Ia pernah menjadi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Reformasi Pembangunan. Ia juga dikenal sebagai tokoh gerakan Pelajar Islam Indonesia (PII) semasa mudanya dulu.
Ia seorang perwira tinggi yang termasuk sukses. Saat terjadinya Peristiwa 27 Juli, Alumnus Akademi Militer Nasional 1966, ini menjabat Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI, suatu jabatan politik militer yang amat berkuasa pada era itu. Namun tumbangnya Orde Baru tidak serta-merta membuat karirnya terhenti. Bahkan pada awal reformasi, pria kelahiran Siak, Riau, 10 November 1943, ini sempat menjabat Menteri Dalam Negeri (1998-1999).
Ia putera Riau yang mencapai puncak karir sebagai Menteri Dalam Negeri. Suatu jabatan strategis yang sebelumnya hanya diberikan kepada orang-orang tertentu. Tetapi Syarwan memecah dominasi orang-orang tertentu itu. Memang, bukan kali ini saja ia memecah ‘tradisi buruk’ seperti itu. Ketika ia menjabat Kapuspen ABRI dengan pangkat bintang satu (brigadir jenderal) pada tahun 1993-1995, orang mengira itu merupakan jabatan terakhirnya. Sebab sangat jarang terjadi seorang perwira yang memegang jabatan juru penerang militer itu naik ke jabatan-jabatan strategis lainnya. Tetapi, ‘tradisi buruk’ itu tidak berlaku bagi Syarwan.
Ia berhasil menunjukkan siapa dirinya pada saat menjabat Kapuspen ABRI itu. Sehingga ia dipromosi menjadi Asisten Sosial Politik Kepala Staf Sosial Politik ABRI dengan pangkat Major Jenderal (bintang dua). Bahkan satu tahun kemudian, penggemar fotografi yang memiliki koleksi puluhan kamera, ini diangkat menjadi Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI, suatu jabatan politik militer yang amat berkuasa pada era itu. Pangkatnya pun naik menjadi letnan jenderal (bintang tiga). Dialah orang pertama lulusan AMN 1966 yang mendapat pangkat letnan jenderal.
Kemudian, pada 1997, ia dikaryakan menjadi Wakil Ketua DPR/MPR mewakili ABRI. Ketika reformasi bergulir, dan Soeharto jatuh, karirnya masih menanjak. BJ Habibie menunjuknya menjadi Menteri Dalam Negeri. Barulah setelah Habibie jatuh pada Sidang Umum MPR 1999 (pertanggungjawabannya ditolak SU-MPR), Syarwan pun ikut turun gelanggang. Kemudian ia sempat mencoba bangkit dengan cara memperjuangkan aspirasi masyarakat Riau. Ia malah salah seorang yang setuju dengan gagasan negara federal. "Hubungan pusat daerah harus diperbaiki. Bentuk negara paling berhasil adalah negara federal," katanya ketika itu. Suatu pernyataan yang bertolak belakang dengan prinsip militer.
Suami dari Endang Agustini, ini meniti karir di militer selepas lulus Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1966. Ia juga telah mengasah diri melalui Sekolah Staf dan Komando ABRI , Seskoad dan Lemhanas.
Ia menjabat Kasrem 063/SGJ (1985). Kemudian dipercaya menjabat Kapendam III/Siliwangi (1986), Pardor Sarli Dispenad (1988) dan Asisten Teritorial Kodam Jaya (1989). Setelah itu ia ditugasi menjadi Danrem 011/Lilawangsa, Aceh (1990). Saat menjabat Komandan Korem Lilawangsa, Lhokseumawe, Aceh, ini ia dianggap berhasil meredam pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka terhadap NKRI. Bintangnya pun bercahaya untuk masuk ke jajaran perwira tinggi. Ia pun diangkat menjabat Kadispen TNI Angkatan Darat (1992) dengan pangkat brigadir jenderal (bintang satu). Tak lama kemudian menjadi Kapuspen TNI (1993), Assospol Kassospol ABRI (1995) sampai menjabat Kassospol ABRI (1996) dengan pangkat letnan jederal.
Saat ia menjabat Kassospol ABRI itu terjadi Peristiwa 27 Juli 1996. Ia pun diduga terlibat dalam kasus itu dan yang melatarbelakangi tragedi itu. Pada 27 Juli 1996 itu terjadi penyerbuan berdarah ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta, sebagai bagian dari upaya kekerasan menggulingkan Megawati Sukarnoputri dari posisi Ketua Umum DPP PDI.
Ketika itu pemerintah menyelenggarakan Kongres PDI (Partai Demokrasi Indonesia) di Medan untuk mengganti Megawati dengan Soerjadi. Syarwan membantah, ide penggulingan itu dari dirinya. Menurutnya, Mendagri Yogie S. Memed selaku pembina politik yang menyarankan agar diadakan kongres untuk menyelesaikan konflik dalam tubuh PDI. Ia juga membantah terlibat dalam kasus berdarah 27 Juli 1966 itu.