[ADS] Top Ads

Biografi Mohammad Nazir


Laksamana Muda Mohammad Nasir adalah mantan KSAL yang juga pernah menjadi Menteri Pelayaran (1957 - 1959). Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar di Swiss dan Vatikan. Laksamana Muda M. Nazir dengan nama lengkap Mohammad Nazir Isa Datuk Basa Nan Balimo lahir di Maninjau, Sumatera Barat tanggal 10 Juli 1910 dari pasangan Mohammad Isa Sutan Bandaro dan Siti Chadijah. Anak ketiga dari tujuh bersaudara yaitu Munir, Siti Nurdjanah, A. Nawir, A. Basir Baharudin dan Siti Nurhadi. Sejak 1916 M. Nazir diasuh oleh pamannya, Adam Datuak Basa Nan Balimo di Tanjung Pura yang menjabat sebagai School Opzienner. Sesuai dengan kedudukan pamannya, M. Nazir memungkinkan masuk Europesche Lager School di Medan. Setelah dibekali dengan adat Minang dan pengetahuan agama Islam, M. Nazir dibawa oleh pamannya yang lain, Abdul samad yang bekerja sebagai Hoof Opzichter di Jakarta, dan masuk sekolah dasar De Tweede Bijbel School, setelah tamat sekolah ini melanjutkan sekolah ke Chrijstelike MULO (Chrijstelike Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). M. Nazir berhasil menyelesaikan sekolah tingkat pertama pada usia 16 tahun. Seperti kebanyakan pemuda pribumi pada saat itu, M.Nazir tidak melanjutkan sekolah ke tingkat AMS (Algemene Middelbare Shool) atau sekolah menengah atas karena kesempatan dan tingginya biaya. M. Nazir bekerja sebagai pelaut di negeri Belanda atas rekomendasi guru bahasanya di MULO,Ny. Poijt van Druten. Setelah malang melintang di dunia pelayaran, M. Nazir bertekad melanjutkan sekolah yang lebih tinggi di Michel Adrianzoon de Ruyter di Belanda. Ia menimba ilmu di Sekolah Pelayaran Tinggi sejak 11 Juli 1935 dan berhasil lulus serta mendapatkan ijazah De Grotevaart (Ijazah Pelayaran Samudera) pada tanggal 5 Januari 1938. Menurut catatan, M. Nazir adalah orang Indonesia pertama yang mendapatkan ijazah setingkat itu. Selama tinggal di negeri Belanda, ia tertarik dengan gadis Belanda. Gadis pujaan hatinya adalah keturunan Belanda yang memiliki adat istiadat barat. Restu yang diminta kepada keluarga besar di tanah kelahirannya tidak diberikan oleh musyawarah Datuak Basa Nan Balimo untuk menikahi gadis Belanda. Oleh karena kepatuhan pada adat yang tinggi inilah M. Nazir tidak menikah seumur hidupnya. Tahun 1938, ia pulang ke Indonesia dan bekerja di perusahaan pelayaran Doggerbank salah satu saingan KPM milik kerajaan Belanda. Setelah Jepang masuk Indonesia tahun 1942, ia bergabung dengan para pelaut muda Indonesia yang dikoordinir Jepang untuk membantu Dai Nippon. Sejak tahun 1943, ia diangkat sebagai kepala Sekolah Pelayaran Tinggi di Semarang. Cukup banyak pemuda-pemuda yang mendapatkan pendidikan pelayaran dari M. Nazir. Kepiawaiannya dalam berbahasa Belanda tidak menguntungkan dalam beradaptasi dengan saudara tua, tentara Jepang. Karena sering berbicara dalam bahasa Belanda dengan guru sekolah yang lain, ia dituduh menghasut. Atas tuduhan ini pihak Jepang menjatuhkan hukuman mati dan masuk penjara di Jatingaleh, Semarang. Beruntung sebelum eksekusi dilaksanakan, Jepang telah bertekuk lutut kepada Sekutu dan selamat dari hukuman mati. Seiring dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu, Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945. Di Jakarta, para pelaut-pelaut membentuk BKR Laut Pusat yang diketuai oleh M. Pardi. Di Jawa Tengah BKR Laut di ketuai oleh Sumarsono dan wakilnya M. Nazir. Perkembangan selanjutnya BKR Laut berubah menjadi TKR Laut dan di Jawa terbentuk tiga divisi: Divisi I Jawa barat dipimpin Laksamana III Adam berkedudukan di Cirebon. Divisi II di Jawa Tengah dipimpin Laksamana III M. Nazir berkedudukan di Purworejo. Divisi III Jawa Timur berkedudukan di Surabaya dipimpin oleh Laksamana III A.R. Aris. TKR Laut pada tanggal 25 Januari 1946 berubah menjadi TRI Laut dan bulan berikutnya menjadi ALRI dan M. Nazir menduduki Stauf umum di bawah M. Pardi. Pada saat terjadi dualisme ditubuh organisasi ALRI dimana MBT Lawang menekankan pentingnya pasukan darat yang praktis digunakan pada saat itu, sedangkan MBU Yogyakarta menekankan unsur armada dan pendidkan kebahariawan. M. Pardi, M. Nazir dan Adam berpendirian bahwa ALRI harus dikembangkan sesuai dengan tugas Angkatan Laut yang sebenarnya. Unsur armada harus dikembangkan lebih dulu sedangkan unsur korps mariner hanya merupakan satuan tempur pembantu. Berdasarkan keputusan rasionalisasi dan reorganisasi ALRI, terjadi penyatuan MBT Lawang dan MBU Yogyakarta dengan pucuk pimpinan laksamana Muda M. Nazir sebagai Panglima ALRI. Pada pertengahan 1948, dibentuk Perwakilan ALRI di Sumatera dan M. Nazir sebagai Kepala staf Umum. Pada saat itulah M. Nazir meresmikan sekolah Kadet ALRI Pangkalan Besar Pariaman. Tetapi rupanya Belanda melanggar perjanjian Renville dan menyerang markas ALRI bertubi-tubi dari atas kapal perang. Akibat serangan Belanda ini Pemerintahan Darurat RI berpindah ke hutan dan M. Nazir beserta staf mengikutinya. Perjanjian Meja Bundar tanggal 27 desember 1949, merupakan penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada RIS (Republik Indonesia Serikat). Kepala Staf ALRIS, Kolonel R. Soebijakto dan Kolonel M. Nazir sebagai Komandan Komando Daerah Maritim Surabaya. Usai penyerahan kedaulatan, termasuk kapal perang diserahkan kepada ALRI yang berkedudukan di Surabaya. M. Nazir sebagai Komandan Komando Daerah Maritim Surabaya memiliki tugas berat untuk mengorganisir personel yang memiliki kualifikasi keahlian navigasi, mesin, senjata, komunikasi, pasukan mariner dan sebagainya. Pada tahun 1957, M. Nazir diangkat menjadi menteri Pelayaran RI pada Kabinet Juanda dengan pangkat Komodor. Selain itu ia juga menjadi Duta Besar di Vatikan dan Swis. Tahun 1964, M. Nazir menjadi Laksamana Muda. Memasuki panggung politik, M. Nazir bergabung dengan A.H. Nasution mendirikan LKB (lembaga Kesadaran Berkonstitusi) pada tanggal 1 juni 1978. Tanggal 5 Mei 1980, M. Nazir juga ikut menandatangani Petisi 50 yang merupakan reaksi keprihatinan terhadap pemerintah presiden Suharto. Akibatnya semua anggota Petisi 50 ini diawasi dan dicekal oleh aparat. M. Nazir wafat pada tanggal 30 Agustus 1982 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Tanda jasa yang diperoleh antara lain Bintang Gerilya, sewindu APRI, Perang Kemerdekaan I dan II, Satyalencana VIII, XVI dan Bintang Jalasena.

Postingan Ini Dilindungi HAK Cipta, Dan menggunakan Anti Block Dan Copy dengan CSS3 (Belum bisa ditembus seperti Anti Copy Javascript) untuk menghindari Penjiplakan, Untuk Itu jika anda membutuhkan isi dari postingan ini untuk keperluan pembelajaran, anda dapat mengirimkan E-Mail ke djnand.dj@gmail.com

Posting Komentar

Copyright © 2020

Sejarah Bangsa Indonesia